POLEMIK PAHLAWAN DEVISA NEGARA
Tanggal 1 Mei
diperingati sebagai hari buruh Internasional atau biasa disebut May Day. Hari
Buruh seolah menjadi suatu pengakuan bahwa buruh bukan
sebuah golongan yang diminoritaskan lagi. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan
besar, apakah hak-hak para buruh sudah terakomodir dengan baik? Problematika
mengenai masalah buruh tidak berhenti mengakar dan hampir mencapai puncak
kompleksitas. Masalah pengupahan dan
jaminan sosial merupakan diantara berbagagai permasalahan yang menghadang para
buruh saat ini. Di Indonesia sendiri, buruh masih menjadi social dumping antara para
pelaku modal dan pemerintah yang menyebabkan posisi tawar buruh menjadi rendah.
Tidak hanya itu, berbagai polemik ketenagakerjaan juga muncul terhadap Buruh Migran Indonesia atau
TKI. TKI sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar untuk negara justru
terabaikan dan tersia-siakan di negeri orang.
Belum lama ini
kita dikejutkan dengan dugaan penjualan organ tubuh manusia yang dilakukan
terhadap tiga TKI asal Nusa Tenggara Barat. Ketiga TKI tersebut tewas karena luka tembak bagian kepala yang dilakukan
polisi Malaysia ketika mereka ingin merampok. Saat dipulangkan, keluarga korban
curiga terdapat bekas jahitan pada area organ-organ vital tubuh korban. Tentu
saja kabar tersebut menghentakkan bangsa Indonesia, terutama instansi yang
bergerak dalam ketenegakerjaan Indonesia, seperti Migrant Care. Berbagai
desakan muncul dari berbagai pihak, dan akhirnya otopsi pun dilakukan mabes
POLRI. Dari hasil otopsi terbukti tidak
ada satupun organ yang hilang dari tubuh korban. Walaupun tidak terbukti ada
indikasi penjualan organ tubuh , tetapi tetap saja yang dilakukan oleh polisi
Malaysia tersebut merupakan pelanggaran HAM terhadap tewasnya para TKI.
Berbagai aksi demo muncul dari berbagai aktivis
dan aliansi untuk menuntut diusutnya penyebab tewasnya ketiga TKI tersebut. Bahkan
mereka juga menuntut pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia. Aksi dan berbagai demo masalah TKI bukan
terjadi kali ini saja. Kasus pelanggaran
hak TKI tidak hanya terjadi Malaysia saja, namun juga di beberapa negara tujuan
pengiriman TKI seperti Arab Saudi. Masih hangat di benak kita kasus Sumiati
yang bekerja sebagai TKI di Arab Saudi menjadi korban penyiksaan majikannya. Mencuatnya kasus Sumiati memicu terbongkarnya
kasus penyiksaan lain yang terjadi
terhadap TKI di Arab Saudi. Ternyata kasus Sumiati tersebut tidak cukup
mencoreng lembaga perlindungan TKI di luar negeri, BNP2TKI. Hal itu disusul adanya kasus Ruyati yang
dihukum pancung karena terbukti telah membunuh majikan yang kerap menyiksanya. Hal
yang memprihatinkan tidak adanya laporan pemerintah Arab Saudi terhadap
pemerintah Indonesia atas hukuman pancung yang dikenakan terhadap Ruyati.
Kasus- kasus yang menyeruak terhadap TKI hanya
segelintir saja yang dapat terungkap melalui media. Masih banyak lagi
kasus-kasus lainnya yang dialami oleh pahlawan devisa negara tersebut. Hal itu menunjukkan belum berhasilnya
pemerintah dalam mengakomodir hak- hak dari para buruh yang secara yuridis
sudah dijabarkan pada U No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia. Dalam pasal 10
tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan TKI diselenggarakan oleh pihak negeri
dan swasta. Walaupun tidak dicantumkan secara gamblang pada UU tersebut, namun
pihak swasta juga dibebankan kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada
TKI. Jangan sampai penyaluran TKI hanya dijadikan komoditi bisnis semata
oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab.
Sudah selayaknya semua elemen masyarakat baik dari pihak pemilik modal ,
pemerintah bahkan masyarakat peduli akan nasib TKI. Jangan sampai pahlawan
devisa negara tersebut tersia-siakan dim negeri orang bahkan di negeri sendiri.
Selamat Hari Buruh !